Kaki si bibi keseleo. Sudah dilabur parem dan dioles Rheumason tiga hari, bukannya sembuh malah bengkaknya makin menjadi.
"Dibawa ke tukang urut ya?" bujuk ibu si gadis kecil.
"Jangan, Nyah ...," pinta si bibi memelas. Dia paling ngeri berobat. Baginya dokter atau tukang urut sama saja. Yang satu suka nyuntik, satunya lagi suka mencet-mencet bagian yang sakit. Butuh dua ribu satu macam 'gombalan' bahwa diurut itu tidak bakal sakit sebelum akhirnya si bibi mengangguk enggan.
Sore itu dengan girang si gadis kecil membuntuti langkah ibu dan pengasuhnya yang tertatih-tatih menelusup ke dalam sebuah gang kecil. Begitu sempit dan pengapnya gang yang terletak di dekat kali itu sampai-sampai cuma manusia dan sepeda yang bisa melewatinya.
Petualangan itu sangat mengasyikkan. Yang paling membuat si gadis kecil terkesima adalah rumah-rumah kecil yang menempel di kanan kiri gang. Dari pintu-pintu dan jendela-jendela yang terkuak lebar ia bisa melongok langsung ke dalam ruang tamunya! Rumah-rumah ini begitu mirip rumah-rumahan mungil yang dibayangkannya setiap kali ia bermain rumah-rumahan sendirian di rumah kuno milik kakeknya yang besar dan terasa kosong.
"Sudah sampai." Kalimat itu nyaris membuatnya kecewa kalau saja ia tak segera ingat akan hasratnya menyaksikan reaksi si bibi ketika diurut.
"Pulang aja, Nyah ...," mohon si bibi yang ciut nyalinya.
"Ah, masa sudah susah-susah ke sini mau langsung pulang," tolak ibu halus. Ibu selalu bersikap baik terhadap bibi. Itu sebabnya bibi bersedia mengikuti ibu pindah ke kota itu agar bisa terus mengasuh si gadis kecil.
Tiba saatnya menunggu. Sumpek. Gerah. Dengung percakapan yang bergaung di mana-mana membuat si gadis kecil gelisah.
"Hei ... Vi!" Sebuah suara renyah menyeruak di tengah lautan kebisingan yang menyesakkan. Seraut paras coklat berhias sepotong senyum lebar menyembul dari balik jendela. Berbinar mata si gadis kecil menangkap sosok mungil yang melambai-lambai girang. In. Gadis manis yang ramah. Sama-sama duduk di bangku kelas empat, meski tak pernah sekelas.
"Rumahku kan dekat," sahut In dengan tawa renyahnya saat si gadis kecil menyatakan keheranannya. "Yang ituuu ...."
Bola mata si gadis kecil bergerak mengikuti telunjuk gadis berkulit coklat itu. Matanya terbelalak. Telunjuk itu mengarah ke sebuah rumah kecil yang paling menarik perhatiannya tadi. Ia bahkan sempat melongok ke ruang tamunya dan bertanya-tanya seperti apakah penghuninya. Kini In mengundangnya masuk. Bagaikan mimpi si gadis kecil menjejakkan kaki di rumah mungil khayalannya dan duduk di ruang tamunya. Seperti bermain rumah-rumahan, bisiknya dalam hati.
Perjumpaan itu. Awal terjalinnya sebuah kisah. Manis. Pahit. Membahagiakan. Menyakitkan. Tentang dua tahun jalinan persahabatan.
Related post:
Another December
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
fiksi atau kisah nyata ? :)btw perjumpaan memang awal dari segala kisah , tq 4 share :)
ReplyDeletelho? sudah? kukira ada lanjutanya..
ReplyDeletekenangan akan masa kecilnya ya mbak..?
ReplyDeleteSepertinya ada sambungannya dg puisi persahabatannya ya?
hikss.... :(
ReplyDeleteAsik!
ReplyDeleteseneng dapet kunjungan dari teman lama n kenalan baru
ReplyDelete@Aulawi: semua tulisan berlabel 'journey of life' itu kisah nyata
@Geafry: jitu sekali pengamatan Geafry, memang masih berlanjut
@Reny: salut atas kesetiaan mbak Reny mengikuti rangkaian tulisan 'journey of life'
Iya, ini kenangan akan satu-satunya orang yang pernah menjadi sahabatku
wuihh keren banget
ReplyDeletekenangan masa kecil yang indah mbak... apalagi kalo mbak yang menuliskannya... serasa hanyut di dalamnya...
ReplyDeleteSetia menunggu lanjutannya...
ReplyDeleteterima kasih sudi mampir ke gubuk reot saya..:)
ReplyDeletesalam kenal sist, bro..:)
Ah, jadi penasaran gimana kelanjutan persahabatan dua gadis kecil itu setelah mereka dewasa.
ReplyDeleteIya mbak,aku juga dah gak sabar pgn baca kelanjutannya. bahasanya enak ki.. jadi kaya baca novel he..he.. oh ya met kenal juga yach :)
ReplyDeleteasik buat dibaca, ceritanya menarik .....
ReplyDelete