Waktu kecil aku begitu diam, tenggelam oleh keceriaan dan keceriwisan teman-teman, hingga sering luput dari perhatian guruku. Waktu kecil aku begitu takut untuk protes, hingga sering kebagian yang tidak enak. Kursi berkutu, misalnya. Waktu kecil aku terlalu kelu untuk mengadu, sehingga diam saja bila disakiti, baik tubuh ataupun hatiku.
Kerap kali aku menonton teman-teman berceloteh dan bercanda tawa dengan guruku. Tiap hari aku mendengar ada saja yang mengadu atau protes ini dan itu. Sebenarnya ingin sekali aku bisa begitu, tapi beringsut mendekati guru pun sudah berdebar-debar aku.
Aku ini tak menarik, pikirku. Dilupakan. Tak dilihat. Apalagi didengar. Dan mimpi untuk bisa dekat dengan guruku tak pernah kesampaian.
Ajaibnya, belasan tahun kemudian aku menjadi guru. Seperti guruku, aku pun senang dikerumuni murid-murid yang ramai, pintar, menarik. Tetapi impian seorang murid selalu terbawa-bawa dalam hati kecilku. Mimpi yang tak sampai.
Lalu mulailah aku berupaya mewujudkan mimpiku. Maka ketika tak kutemukan alasan untuk memuji kepandaian muridku, kupuji kerajinannya. Ketika tak ada alasan untuk memuji keelokan parasnya, kupuji tulisannya. Kalau tak pernah ia mendekatiku, aku yang menghampirinya. Kalau tak pernah ia bercerita padaku, aku yang bertanya padanya.
Aku percaya tiap anak punya hal yang menarik walau tak semua orang bisa melihatnya. Tiap anak punya keunggulan walau tak semua orang bisa menghargainya. Aku percaya meski tampaknya tak ada alasan untuk percaya.
Dimulai dari mimpi seorang murid yang tak sampai, yang selalu terbawa-bawa di hati, aku terpacu untuk terus mencari jalan menuju hati anak-anak. Karena dulu terabaikan, maka kini memperhatikan. Karena dulu tak menerima, maka kini memberi.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
yupzzzzzz aku setuju banget.... setiap anak punya keunikan masing-masing yang patut dibanggakan...sukses trus buat kegiatan mengajarnya...biar anak murid mbak semakin seneng dekat2 dengan mbak...AMIN
ReplyDeleteBetapa beruntungnya para muridmu mempunyai kamu sebagai guru! Setuju bahwa tiap manusia diciptakan dgn indah oleh Sang Pencipta. Tiap anak pasti punya kelebihan. Dgn caramu mendidik, semoga semua muridmu kelak menjadi, bukan saja orang yg cerdas, namun bermartabat dan memiliki kemampuan utk mengasihi sesama!
ReplyDeleteSalut Evy... seandainya setiap guru sepertimu..seandainya setiap pemimpin mempunyai karakter seperti itu.... negeri ini akan maju dengan cinta ...
ReplyDeleteSelamat Hari Minggu..
oh ya lupa...
ReplyDeleteaku juga udah pasang link-nya...
sekalian...ada award untuk-mu... :)
having fun..
Saya suka,. Karena dulu terabaikan, maka kini memperhatikan. Karena dulu tak menerima, maka kini memberi.
ReplyDeleteBenar sekali, justru dengan cara itu celah yg terasa di hati seakan dijahit.
Love it. Thanks for sharing.
haii evy,,,lagi lagi jari ini tertarik mengklik link blogmu
ReplyDeletedan lagi lagi saya terkesima dengan ide postinganmu kali ini
sepertinya kita memiliki masa kecil yang sama
waktu kecil pengen banget bisa deket dengan guru di sekolah ataupun di sekolah minggu, tapi emang bener berdebar debar dan ga tau mau ngomong apa
ada rasa iri, melihat teman yang bisa deket dengan guru,sehingga kita memiliki penilaian bahwa si guru pilih kasih
aaahhh cerita masa lalumu di postingan ini, membuat memory saya memutar ulang kehidupan masa kecilku
sungguh, pemikiran yang luar biasa, kamu tidak ingin ada anak2 seperti "kita" dulu, sehingga sebagai orang dewasa kamulah yang membuat solusinya,,
KARENA DULU TERABAIKAN, MAKA KINI MEMPERHATIKAN
KARENA DULU TAK MENERIMA, MAKA KINI MEMBERI
nice,,,,
Happy sunday
Salut mbak..., seandainya semua guru peduli pada semua anak didiknya pasti semua anak didiknya akan maju pesat. Karena setiap anak itu unik, mempunyai kelebihan masing-2 yg perlu utk ditonjolkan.
ReplyDeletewah dua jempol buat mbak evi.
ReplyDeleteterabaikan di balas dengan perhatian, tak menerima di balas dengan pemberian. sallutt mbak...
ehmmm... mo komen apa ya? Kok malah jadi bingung nih... eh, ternyata begitu ya mbak... impian masa kecil yang enggak sampai ternyata bisa mendorong mbak berbuat lebih baik untuk anak-anak... salut mbak...
ReplyDeleteSebuah contoh positif bagaimana cara pandang positif mampu menjadikan anda sebijak ini. Tak perlu sesali mimpi2 masa kecil yang tak sampai itu. Mungkin saat itu guru anda tak memperhatikan anda, salah satu muridnya yang memiliki (maaf...) rasa takut yang tak sewajarnya. Tapi anda berfikir positif hingga memberikan hikmah pengalaman dan anda tak ingin murid anda mengalaminya seperti anda dulu. BRAVO... Langsung dech saya follow blog nya mbak... Salam kenal yahh...
ReplyDeleteluar biasa....
ReplyDeletesemoga guru2 lain dapat melanjutkan semangat juang mbak dalam mendidik anak dan mendekati mereka dengan kasih
ReplyDeletesalut buat guru-guru yang memandang muridnya demikian! aku jadi murid ibu deh...btw ngajar mata pelajaran apa?
ReplyDeleteHalo bu guru... :-)
ReplyDeleteSalut deh, ada guru yg perhatian sama masalah pribadi murid. spt kakak saya, dicurhatin muridnya yg pengin kulitnya putih sementara si murid keturunan afrika.
So, predikat guru justru bisa dimanfaatkan buat jadi penasehat sekaligus teman.
Jadi inget MJ.. :-D
hiks,, bagus banget,, aku juga merasa seperti itu waktu sekolah,,, useless person.. aku pendiam banget.. tapi,, aku merasa ada hal di balik itu,, entah itu apa...
ReplyDeletemenjadi guru itu menyenangkan. setiap pagi kita bisa tersenyum lebar melihat pagi dan anak2.
ReplyDeleteMakasih sekali buat tanggapan teman-teman atas pengalamanku.
ReplyDelete@Mrs Irontius Lou: dulu aku mengajar b ingg di sebuah lembaga pendidikan yg menuntutku untuk cepat menyesuaikan diri dengan segala rentang usia
@Arfi: merasa 'useless' tidak berarti benar-benar useless, bukan? Arfi sudah membuktikannya dengan keadaan Arfi sekarang. Ayo kita bantu orang2 yang ada di sekitar kita agar terhindar dari perasaan demikian.