"Setiap manusia punya cerita. Di balik tawa ada kegetiran. Di balik ratapan terselip harapan.
Hidup itu jalinan cerita. Manis di awal belum tentu bahagia. Pahit pun bukan kartu mati.
Kisah hidupku terus berlanjut. Entah sampai kapan."

Friday, 22 May 2009

Tahukah kau, betapa aku mencintaimu

"Baiknya bagaimana ... sepertinya kamu dan anak-anak tidak bisa ikut ke sana."

Deg! Kedua kupingku berdiri tegak.

"Beasiswa itu tidak cukup untuk menghidupi kita sekeluarga. Mungkin sebaiknya aku tidak usah pergi saja ...."

Seperti ada palu yang dihantamkan ke kepalaku. Satu per-satu gelembung asa terbanting pecah.
Bye bye, Netherlands. Bye, Germany. Bye, England. Bye, *****. Case closed. Bagiku dan anak-anak.

"Kamu tetap harus pergi." Kalimat itu membelah keheningan. Suara itu seperti bukan suaraku. Nada itu bukan nada bicaraku. Namun lawan bicaraku jelas terperangah dan sontak menatap lekat sepasang mataku, mencoba mencari kepastian di sana.

"Tetapi bagaimana nanti ... kamu akan sendirian mengurus anak-anak ...."

"Tidak apa-apa."

Duuuh, tololnya akuuu! Mengapa berkata begitu? Seharusnya bilang, "Jangan pergiii
, nanti kami bagaimana? Di rumah cuma bertiga, cewek semua. Lagi pula si kakak asma. Apa kamu lupa, waktu itu sampai harus ke rumah sakit untuk di-oksigen. Kalau dia kambuh dan aku sibuk mengurusnya, lalu si adik bagaimana? Dia masih terlalu kecil .... Apa kamu tega meninggalkannya? Belum lagi kalau aku jatuh sakit ... siapa yang akan mengurus mereka berdua???"

Kegamangan demi kegamangan bergaung di kepalaku. Gemanya begitu keras sampai aku khawatir kalau-kalau orang yang berada di dekatku bisa mendengarnya. Aku tak ingin membuat suamiku bertambah bimbang. Apalagi sampai membuyarkan impian yang sudah dibangunnya sejak ia masih muda. Kalau saja beasiswa itu datang dari Belanda, Jerman, atau Inggris, masih ada kemungkinan bagi keluarga untuk ikut serta. Namun faktor usia membuatnya tereliminasi. Hanya satu negara ini yang masih memberinya kesempatan untuk mendapat beasiswa, itu pun harus diambil tahun itu juga. Bila ditunda, hanguslah kesempatan terakhirnya.

Deal. Bulan-bulan berikutnya penuh sesak dijejali berbagai macam persiapan sehingga kami berdua tak sempat menikmati sisa waktu yang ada. Sampai akhirnya hitung mundur tinggal menyisakan beberapa minggu saja. Dan ibadah di minggu-minggu terakhir itu terasa begitu berbeda.

Aku tak bisa mengenyahkan bayangan kesendirian yang menantiku di minggu-minggu selanjutnya. Kucoba tak memikirkannya, namun lukisan suram itu jelas terhampar di depan mata. Saat itu, bahkan merasakan sentuhan dari lengan kami yang bersisian saja sudah cukup untuk membuat mataku merebak. Betapa besar arti kehadirannya bagiku ....

Dan hari itu tiba juga. Hari yang mau rasanya kutunda selama-lamanya. Sepanjang pagi kami sudah disibukkan oleh sanak keluarga yang akan ikut mengantar ke bandara. Semua serba repot. Serba tergesa-gesa. Aku di sini. Suamiku di sana. Bahkan di jam-jam terakhir pun tak bisa kami tenang berdua.

Sesampainya di bandara, si bungsu masih belum paham apa yang sebenarnya terjadi. Trenyuh hatiku melihatnya begitu terkesima mengagumi burung raksasa yang akan membawa terbang ayahnya. At the very last minutes, akhirnya, kami mendapat kesempatan berkumpul berempat saja.

Kesempatan pertama adalah untuk si bungsu. Dekapan erat dan kecupan panjang disematkan sang ayah di wajah mungilnya. Selepas dari dekapan, mata polosnya menyiratkan tanya. Mungkin dikiranya ayahnya hanya pergi dua-tiga hari saja seperti biasa. Belum lagi gilirannya tiba, sang kakak sudah menangis sejadi-jadinya. Ia tahu betul setelah siang ini akan ada ratusan siang yang harus dilaluinya tanpa kehadiran sang ayah. Ayahnya memeluknya erat dan menciumnya penuh haru.

Ketika tiba giliranku ... mata kami yang basah bertemu. Ketika sepasang lengannya merengkuh erat bahuku, dan bibirnya yang hangat menyentuh basah wajahku ... aku berharap waktu berhenti saat itu. Sekujur tubuhku berseru ... aku mencintaimu. Namun tiada kata yang terucap. Jam kembali berdetak. Dan aku harus merelakannya pergi.

Bulan berganti tahun dan aku berusaha menepati janjiku. Merawat kedua anak kami sebaik yang aku mampu. Sungguh jauh dari sempurna. Namun itulah yang aku bisa.

Tuhan memimpin, menyertai dan memberi pertolongan di kala kami membutuhkan. Suatu ketika kami bertiga terserang cacar air. Si bungsu terjangkit lebih dulu, selepas kurawat dia sampai sembuh, barulah sang kakak dan aku sendiri terkena. Andai saja kami bertiga jatuh sakit pada waktu yang bersamaan ... entah apa jadinya.

Di lain kesempatan, tiba-tiba listrik di ruang tamu kami mengalami gangguan arus pendek. Walau sekering pusat telah dimatikan, masih saja terjadi ledakan-ledakan keras disertai kilatan api yang mengerikan. Tetangga yang mencoba membantu nyaris terkena sambaran api. Tanpa listrik, terpaksa kami bergelap-gelapan sampai malam tiba. Puji syukur kepada Tuhan, kami bermukim di perkampungan padat penduduk sehingga para tetangga ikut berjaga-jaga sampai petugas PLN tiba pada tengah malam. Semua berakhir dengan baik.

Masa-masa penuh perjuangan itu kini telah berakhir. Keluarga kami kembali berkumpul bersama. Alangkah berharganya setiap detik yang bisa kami lalui bersama. Entah sampai kapan kami diberi kesempatan menikmatinya.

Tak jarang saat menatap sosok lelaki yang asyik mengetik di depan komputernya, atau sibuk membaca literatur kumalnya, sebentuk senyum mengembang di bibirku. Alangkah mahalnya pemandangan ini beberapa waktu yang lalu. Bila malam tiba, menatap wajahnya yang lelap tertidur, aku bersyukur diijinkan mengenal lelaki ini dalam hidupku. Ia tak pernah menghujaniku dengan hadiah dan pujian. Ia tak banyak memberiku perhatian. Ia adalah lelaki sederhana yang menyayangi istri dan anak-anaknya secara sederhana pula. Ia jauh dari romantis, namun kerelaannya untuk berbagi tugas rumah denganku menunjukkan bahwa ia menyayangiku.

Tak pernah kulupa doa yang kupanjatkan dahulu, di kala aku telah cukup dalam mengenalnya. Kukatakan, "Tuhan, sesungguhnya aku tak ingin menikah. Namun aku tak sanggup membunuh perasaanku terhadapnya. Kalaupun aku harus menikah, aku ingin Engkau tahu, hanya kepada lelaki inilah aku dapat mempercayakan hatiku ...." Dan Tuhan memberikannya sebagai suamiku.

Kini, yang kuinginkan adalah berjalan di sisinya, mengukir sebanyak mungkin kenangan bersamanya. Tentang hidup. Tentang cinta. Tentang segalanya. Hingga bila tiba saatnya nanti kami harus berpisah, entah sementara, atau selama-lamanya ... kami akan mengenang kebersamaan ini sebagai masa yang penuh keindahan ... bukan masa yang penuh penyesalan.

Kutatap lelaki yang berbaring di sisiku menekuni buku. Sejenak rasa ragu menyergapku. Namun kusentuh juga lengannya perlahan. Tatapannya beralih dari sang buku ke wajahku. Ada apa, matanya menyiratkan tanya. Perlahan kukembangkan senyum di bibirku. Tahukah kau, bisikku dalam kalbu ... betapa aku mencintaimu.